Free Website Hosting

-Kerja Online dengan modal klik saja-

Pengelolaan BMKN


Pengelolaan BMKN

1.      Pengertian Barang Milik dan Kekayaan Negara
1.1.    Barang milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang syah
1.2.    Barang milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD  atau berasal dari perolehan lainnya yang syah
1.3.  Perolehan yang sah meliputi :
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
c. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.      Dasar Hukum Pengelolaan BMKN
2.1.    Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
2.2.    pasal 48 ayat (2) dan pasal 49 ayat (6) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004
2.3.    Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 jo PP Nomor 38 Tahun 2008
3.      Azas dan Lingkup Pengelolaan BMKN
3.1.    Pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas: fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.(Lihat catatan Referensi dibawah).
3.2.    Pengelolaan barang milik negara/daerah meliputi: (“disebut Siklus Barang”)
a. perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
b. pengadaan;
c. penggunaan;
d. pemanfaatan;
e. pengamanan dan pemeliharaan;
f. penilaian;
g. penghapusan;
h. pemindahtanganan;
i. penatausahaan;
j.  pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
4.      Pejabat Pengelola BMKN
4.1.    Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola barang milik Negara
4.2.    Gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah. (istilah saya : “Pemegang Kuasa Pengelola Barang Milik Daerah).
4.3.    Menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian negara/lembaga adalah pengguna barang milik negara.
4.4.    Kepala Kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah kuasa pengguna barang milik negara dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya.
4.5.    Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah kuasa pengguna barang milik daerah dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya.

5.      Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran
5.1.    Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian negara/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah (RKA-KL-SKPD) setelah memperhatikan ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada.
5.2.    Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga.
5.3.    Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkoordinasi dengan instansi atau dinas teknis terkait.
5.4.    Pengguna barang menghimpun usul rencana kebutuhan barang yang diajukan oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah lingkungannya.
5.5.    Pengguna barang menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik negara/daerah kepada pengelola barang.
5.6.    Pengelola barang bersama pengguna barang membahas usul tersebut dengan memperhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah
(RKBMN/D).
6.      Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan
6.1.    PENGADAAN
·      Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip: efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/ tidak diskriminatif dan akuntabel. (cttn: Lihat Keppres 80 Th 2003)
·      Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundan-undangan.( cttn: Lihat PP No. 36 Tahun 2005 >Perpres 36/2005)
·      Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang milik negara/daerah selain tanah diatur dengan Peraturan Presiden.
6.2.    PENGGUNAAN
6.2.1.   Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       barang milik negara oleh pengelola barang; dengan cara sebagai berikut :
·         Pengguna barang melaporkan barang milik negara yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan
·         Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status penggunaan barang milik negara dimaksud.
b.      barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota; dengan tata cara sebagai berikut:
·         Pengguna barang melaporkan barang milik daerah yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan;
·         Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan mengajukan usul penggunaan dimaksud kepada gubernur/bupati/walikota untuk ditetapkan status penggunaannya.
6.2.2.     Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya  untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dapat juga untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.
6.2.3.     Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang yang bersangkutan.
6.2.4.     Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan [sebagaimana dimaksud pada ayat (1)] kepada:
a. pengelola barang untuk barang milik negara; atau
(1)    gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang untuk barang milik daerah.Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan.
(2)    Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan.
b.Dalam menetapkan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola barang memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
·      standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan untuk menyelenggarakan dan menunjang tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan;
·      hasil audit atas penggunaan tanah dan/atau bangunan.
c. Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut:
·      ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya;
·      dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi barang milik  negara/daerah;
·      dipindahtangankan
·      Pengguna barang milik negara yang tidak menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan kepada pengelola barang dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud.
·      Pengguna barang milik daerah yang tidak menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan kepada gubernur/bupati/walikota dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud.
·      Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) dicabut penetapan status penggunaannya.

6.3.    PEMANFAATAN
6.3.1.  Kriteria Pemanfaatan :
(1) Pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud (dalam ayat :” Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan “) dilaksanakan oleh pengelola barang.
(2) Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud (dalam ayat:” Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan”) dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.
(3) Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang.
(4) Pemanfaatan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang.
(5) Pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum
6.3.2.  Bentuk-bentuk Pemanfaatan
6.3.2.1.     SEWA
(1) Penyewaan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan
bentuk:
a. penyewaan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola;
b. penyewaan barang milik daerah atas tanah dan/atau bengunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/walikota;
c. penyewaan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) PP 6/2006;
d. penyewaan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.
(2) Penyewaan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang.
(3) Penyewaan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.
(4) Penyewaan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d, dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.
PARA PIHAK, JANGKA WAKTU, TARIF, PERJANJIAN, HASIL SEWA
(1) Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain sepanjang menguntungkan negara/daerah.
(2) Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang.
(3) Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut, ditetapkan pada:
a. barang milik negara oleh pengelola barang;
b. barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota.
(4) Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa,
yang sekurang-kurangnya memuat:
a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
b. jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu;
c. tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan;
d. persyaratan lain yang dianggap perlu.
(5) Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah.
6.3.2.2.     PINJAM PAKAI
(1) Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah.
(2) Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang.
(3) Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat:
a. pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian;
b. jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu;
c. tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman;
d. persyaratan lain yang dianggap perlu.
6.3.2.3.     KERJASAMA PEMANFAATAN
Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka:
a. mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah
b. meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.
BENTUK KERJASAMA
(1) Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan bentuk:
a. kerjasama pemanfaatan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola barang;
b. kerja sama pemanfaatan barang milik daerah atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/ walikota;
c. kerja sama pemfaatan atas sebagian tanah dan /atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang;
d. kerja sama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan,
(2) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang.
(3) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota.
(4) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaskud dalam ayat (1) huruf c dan d dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.
KETENTUAN KERJASAMA
(1) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi biaya operasional/pemeliharaan/ perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik negara/daerah di maksud;
b. mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/peminat, kecuali untuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung;
c. mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke rekening kas umum negara/daerah setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil kerjasama;
d. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;
e. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan harus mendapat persetujuan pengelola barang;
f. selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemafaatan dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik negara/daerah yang menjadi obyek kerjasama pemanfaatna;
g. jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.
(2) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.

6.3.2.4.     BANGUN GUNA SERAH DAN BANGUN SERAH GUNA ( B G S dan B S G )
(1) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara/daerah dapat dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi; dan
b. Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.
(2) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik Negara sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola barang.
(3) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat pesetujuan gubernur/bupati/walikota.
(4) Tanah yang status penggunaanya ada pada pengguna barang dan telah dapat direncanakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang yang bersangkutan dapat dilakukan bangun guna serah dan bangun serah guna setelah terlebih dahulu diserahkan kepada:
a. pengelola barang untuk barang milik negara;
b. gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah.
(5) Bangun guna serah dan bangun serah guna sebagaimaa dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh pengelola barang dengan mengikutsertakan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang sesuai tugas pokok dan fungsinya.
PENETAPAN
Penetapan status penggunaan barang milik negara/ daerah sebagai hasil dari pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik negara, dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga terkait;
b. gubernur/ bupati/ walikota untuk barang milik daerah, dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah tekait.
JANGKA WAKTU
(1) Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani.
(2) Penetapan mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna dilaksanaka melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/ peminat.
(3) Mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna yang telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian harus memenuhi kewajiban sebagai berikut:
a. membayar kontribusi ke rekening kas umum negara/ daerah setiap tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;
b. tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahkantangankan objek bangun guna serah dan bangun serah guna;
c. memelihara objek bangun guna serah dan bangun serah guna.
(4) Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagai barang milik negara/daerah hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.
(5) Bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat:
a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian ;
b. objek bangun guna serah dan bangun serah guna;
c. jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna;
d. hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;
e. persyaratan lain yang dianggap perlu.
(6) Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus diatasnamakan Pemerintah Republik Indonesia/ Pemerintah daerah.
(7) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
PENYERAHAN
(1) Mitra bangun guna serah barang milik negara harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada pengelola barang pada akhir jangka waktu pegoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pegawasan fungsional pemerintah.
(2) Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada gubernur/bupati/ walikota pada akhir jangka waktu pegoperasian, setelahdilakukan audit oleh aparat pegawasan fungsional pemerintah.
(3) Bangun serah guna barang milik kekayaan negara dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. mitra bangunan serah guna harus menyerahkan objek bangunan serah guna kepada pengelola barang segera setelah selesainya pembangunan;
b. mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;
c. setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh pegguna barang.
(4) Bangun serah guna barang milik kekayaan daerah dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. mitra bangunan serah guna harus menyerahkan objek bangunan serah guna kepada gubernur/ bupati/ walikota segera setelah selesainya pembangunan;
b. mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;
c. setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh gubernur/ bupati/walikota;


LAIN-LAIN
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuanganàsebagai Juklak dari PP…..[PMK No?; PP no?]

6.4.  PENGAMANAN
(1) Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya.
(2) Pengamanan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, pengamanan hukum.
SERTIFIKASI/BUKTI KEPEMILIKAN
(1) Barang milik negara/ daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan.
(2) Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan.
(3) Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukit kepemilikan atas nama pengguna barang
(4) Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukit kepemilikan atas nama pemerintah daerah yang bersangkutan.
FILLING/PENYIMPANAN
(1) bukti kepemilikan barang milik negara/ daerah wajib disimpan dengan tertib dan aman.
(2) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan dilakukan oleh pengelola barang.
(3) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang.
(4) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik daerah dilakukan oleh pengelola barang.
6.5.    PEMELIHARAAN
(1) Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas pemeliharaan barang milik negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya.
(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB).
(3) Biaya pemeliharaan barang milik negara/daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah.
EVALUASI
(1) Kuasa pengguna anggaran wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang yang berada dalam kewenangannya dan melaporkan/ menyampakan daftar hasil pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara berkala.
(2) Pengguna barangatau pejabat yang ditunjuk ,meneliti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyusun daftar hasil pemeliharaan barang yang dilakukan dalam satu tahun anggaran sebagai bahan untuk melakukan evaluasi mengenai efisiensi pemeliharaan barang milik negara/ daerah.


7.      Penilaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, Penatausahaan.
PENILAIAN
Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/ daerah.
Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/ daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
 (1) Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang.
(2) Penilaian barang milik negara/ daerah berupa tanah dan/ atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh gubernur/ bupati/walikota, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh gubernur/ bupati/ walikota.
(3) Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan NJOP.
(4) Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik negara;
b. gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah
PELAKSANAAN
(1) Penilaian barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengguna barang.
(2) Penilaian barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang.
(3) Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar.
(4) Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh:
a. pengguna barang untuk barang milik negara;
b. pengelola barang untuk barang milik daerah.

PENGHAPUSAN
Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi:
a. penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna;
b. penghapusan dari daftar barang milik negara/daerah.

(1) Penghapusan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf (a), dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang;
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat keutusan penghapusan dari:
a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk barang milik negara;
b. pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota atas usul pengelola barang untuk barang milik daerah.
(3) Pelaksanaan atas penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya dilaporkan kepada pengelola barang.
Penghapusan diikuti dengan pemusnahan :
(1) Penghapusan barang milik negara/daerah dari daftar barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf b dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah di maksud sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau karena sebab-sebab lain.
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari:
a. pengelola barang untuk barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota untuk barang milik daerah.
Persyaratan Penghapusan diikuti dengan pemusnahan :
(1) Penghapusan barang milik negara/daerah dengan tindak lanjut pemusnahan dilakukan apabila barang milik negara/ daerah dimaksud:
a. tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat dipindahtangankan; atau
b. alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang miliki negara;
b. pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah mendapat persetujuan ubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah.
(3) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara dan dilaporkan kepada pengelola barang.
PEMINDAHTANGANAN
Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tidak lanjut atas penghapusan barang milik negara/daerah meliputi:
a. penjualan;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.
(1) Pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk:
a. tanah dan/atau bangunan;
b. selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR.
(2) Pemindahtanganan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk:
a. tanah dan/atau bangunan;
b. selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat persetujuan DPRD.
(3) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a tidak memerlukan persetujuan DPR/DPRD, apabila:
a. sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
b. harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran;
c. diperuntukkan bagi pegawai negeri;
d. diperuntukkan bagi kepentingan umum;
e. dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan, yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status
kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
Proses Perolehan Persetujuan :
(1) Usul untuk memperoleh persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) diajukan oleh pengelola barang.
(2) Usul untuk memperoleh persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) diajukan oleh gubernur/bupati/walikota.
Pelaksanaan Pemindahtanganan :
(1) Pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan Presiden;
b. untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang;
(2) Pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.
Pemindahtanganan untuk selain tanah dan bangunan :
(1) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

(2) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelah
mendapat persetujuan Presiden;
(3) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh pengelola barang.

Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.

PENJUALAN
B a r a n g
(1) Penjualan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan   pertimbangan:
a. untuk optimalisasi barang milik negara yang berlebih atau idle;
b. secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual;
c. sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-udangan yang berlaku.
(2) Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan secara lelang,kecuali dalam hal-hal tertentu.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. barang milik negara/daerah yang bersifat khusus;
b. barang milik negara/daerah lainnya yang ditetapkan lebih  lanjut oleh pengelola barang.
Tanah dan Bangunan
(1) Penjualan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan
gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.
(2) Penjualan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan
gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.
Selain Barang, Tanah dan Bangunan
(1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf
(a) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. kuasa pengguna barang mengajukan usul kepada pengguna barang untuk diteliti dan dikaji;
b. pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola barang;
c. pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya;
d. pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna barang dalam batas
kewenangannya;
e. untuk penjualan yang memerlukan persetujuan Presiden atau DPR, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud;
f. penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada butir e dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden atau DPR.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b dilakukan denagn ketentuan sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya;
c. pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna barang dalam batas kewenangannya;
d. untuk penjualan yang memerlukan persetujuan gubernur/bupati/walikota atau DPRD, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud.
(3) Penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atau DPRD.
(4) Hasil penjualan barang milik negara/daerah wajib disetor seluruhnya ke rekening kas umum negara/daerah sebagai penerimaan negara/daerah.

TUKAR MENUKAR (ruistlaag)
(1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:
a. untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan  pemerintahan;
b. untuk optimalisasi barang milik negara/daerah; dan
c. tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.
(2) Tukar menukar barang milik negara dapat dilakukan dengan pihak:
a. pemerintah daerah;
b. badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah lainnya;
c. swasta.
(3) Tukar menukar barang milik daerah dapat dilakukan dengan pihak:
a. pemerintah pusat;
b. badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah lainnya;
c. swasta.
WUJUD TUKAR MENUKAR
(1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dapat berupa:
a. tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah;
b. tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang tetapi tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
c. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.
(2) Penetapan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik negara;
b.gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas kewenangannya.
(3) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.
(4) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.
(5) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

(1) Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengelola barang mengkaji perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;
b. pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan sesuai batas kewenangannya;
c. tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses persetujuan dengan berpedomam pada ketentuan pada Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1);
d. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
(2) Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai alasan/pertimbangan, kelengkapan data, data hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang;
b. penegelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai dengan batas kewenangannya;
d. pengguna barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman pada persrtujuan pengelola barang;
e. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

(1) Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagaimana berikut:
a. pengelola barang mengajukan usul tukar menukar tanah dan/atau bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai alasan/pertimbangan, dan kelengkapan data;
b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji alasan.pertimbangan perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, gubernur/bupati/walikota dapat mempertimbangkan untuk menyetujui dan menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan;
d. tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses persetujuan dengan berpedoman pada kententuan pada Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2);
e. pengelola barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman pada persetujuan gubernur/bupati/walikota;
f. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
(2) Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) buruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya;
d. pengguna barang melaksanakan tukar-menukar dengan berpedoman pada  persetujuan pengelola barang;
e. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
HIBAH
(1) Hibah barang milik negara/daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk  kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan pemerintahan
negara/daerah.
(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. bukan merupakan barang rahasia negara;
b. bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak;
c. tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.
WUJUD HIBAH
(1) Hibah barang milk negara/daerah dapat berupa:
a. tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan ubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah;
b. tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran;
c. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.
(2) Penetapan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik negara;
b. gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas kewenangannya.
(3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.
(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat 91) huruf b dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola
barang untuk barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.
(5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

(1) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengelola barang mengkaji perlunya hibah berdasarkan
pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;
b. pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sesuai batas kewenangannya;
c. proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1);
d. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
(2) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai dengan alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya;
d. pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang;
e. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
Pasal 61
(1) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengelola barang mengajukan usul hibah tanah dan/atau bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai dengan alasan/pertimbangan, dan kelengkapan data;
b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku,
gubernur/bupati/walikota dapat mempertimbangkan untuk menetapkan dan/atau menyetujui tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan;
d. proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2);
e. pengelola barang melaksanakan hibah dengan berpedoman  pada persetujuan Gubernur/bupati/walikota;
f. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.
(2) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan kepada Pengelola
Barang disertai alas an/pertimbangan, kelengkapan data,
dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku,
pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk
menyetujui sesuai batas kewenangannya;
d. pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman
pada persetujuan pengelola barang;
e. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam acara serah terima barang.

PENATAUSAHAAN
Pembukuan
 (1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah ke dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP)/Daftar Barang Pengguna (DBP) menurut penggolongan dan kodefikasi barang.
 (2) Pengelola barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam Daftar Barang Milik Negara/Daerah (DBMN/D) menurut penggolongan barang dan kodefikasi barang.
(3) Penggolongan dan kodefikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Penggolongan dan kodefikasi barang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan
Menteri Keuangan.(Pasal 67)
Penyimpanan
(1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus menyimpan dokumen kepemilikan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang
berada dalam penguasaannya.
(2) Pengelola barang harus menyimpan dokumen kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang berada dalam pengelolaannya. (Pasal 68)
Inventarisasi
(1) Pengguna barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1), terhadap barang milik negara/daerah yang berupa persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan, pengguna barang melakukan inventarisasi setiap tahun.
(3) Pengguna barang menyampaikan laporan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada pengelola barang selambat-lambatnya
tiga bulan setelah selesainya inventarisasi.(Pasal 69)
Ketentuan inventarisasi :
Pengelola barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. (Pasal 70)
Pelaporan
(1) Kuasa pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT)
untuk disampaikan kepada pengguna barang.
(2) Pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) untuk disampaikan kepada pengelola barang.
(3) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan.
(4) Pengelola barang harus menghimpun Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berdasarkan hasil penghimpun-an laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).(Pasal 71).
Bahan pembuatan NERACA
Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat/daerah. (Pasal 72)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan barang milik Negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.(Pasal 73

8.      Pengendalian dan Pengawasan serta Pembinaan
PENGENDALIAN
(1) Pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan, dan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada di bawah penguasaannya.
(2) Pelaksanaan pemantauan dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang.
(3) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang menindaklanjuti hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai ketentuan perundang-undangan.(Pasal 75).

PENGAWASAN
(1) Pengelola barang berwenang untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah, dalam rangka penertiban penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Sebagai tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah.
(3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pengelola barang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundang-undangan. (Pasal 76)
PEMBINAAN
(1) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum pengelolaan barang milik negara/daerah.
(2) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik negara.
(3) Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan sebagaimana ayat (1).

9.          GANTI RUGI dan SANKSI
(1) Setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran hukum atas pengelolaan barang milik negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(2) Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
10.      Lain=lain

REFERENSI :

PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA
(STATE PROPERTY MANAGEMENT)
Oleh: Pokja RPP Pengelolaan BMN/D pada KPMK

A. PENGANTAR
BMN/D memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan tetapi dalam pelaksanaan pengelolaannya sarat dengan potensi konflik kepentingan. Gambaran umum pengelolaan BMN/D selama ini adalah:
  1. Belum lengkapnya data mengenai jumlah, nilai, kondisi dan status kepemilikannya
  2. Belum tersedianya database yang akurat dalam rangka penyusunan Neraca Pemerintah.
  3. Pengaturan yang ada belum memadai dan terpisah-pisah (Lampiran I).
  4. Kurang adanya persamaan persepsi dalam hal pengelolaan BMN/D.
Makalah ini dimaksudkan untuk menguraikan mengenai pokok-pokok pengaturan pengelolaan Barang Milik Negara sesuai UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta arah penyusunan pedoman pelaksanaan di bidang pengelolaan BMN, sebagai tindaklanjut dari UU No. 1 Tahun 2004.

B. PENGATURAN PENGELOLAAN BMN SESUAI UU 1/2004 DAN UU 17/2003
Undang-undang No. 1 Tahun 2004 mengamanatkan pengelolaan BMN dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Adapun pokok-pokok pengaturan pengelolaan BMN sesuai Undang-undang dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut:
  1. Adanya pemisahan peran antara pengelola dan pengguna (pasal 42, 43, dan 44 UU No. 1/2004), yang selanjutnya perlu pengaturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban antara pengelola dan pengguna;
  2. Barang Milik Negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahkan (Pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004). Dengan demikian, pemanfaatan BMN oleh pengguna diarahkan untuk penyelenggaraan Tupoksi masing-masing.
  3. Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR (Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004).
  4. Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas adalah untuk pemindahtanganan BMN yang berupa tanah dan bangunan, dengan beberapa pengecualian. Persetujuan DPR juga diperlukan untuk pemindahtanganan BMN diluar tanah dan bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Sedangkan pemindahtanganan BMN diluar tanah dan bangunan yang bernilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Presiden, dan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan (Pasal 46 UU No. 1 Tahun 2004).
  5. Penjualan BMN prinsipnya dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal tertentu yang pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 48 UU No. 1 Tahun 2004).
  6. BMN yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia yang bersangkutan (Pasal 49 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004). Yang perlu diatur lebih lanjut adalah apakah sertifikasi tanah tersebut atas nama Pemerintah RI atau atas nama Pemerintah RI c.q Menteri Keuangan atau atas nama Pemerintah RI c.q. instansi/ kementerian/lembaga pengguna , karena masing-masing alternatif memiliki implikasi yang berbeda. Demikian juga untuk sertifikasi tanah-tanah pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan sertifikasi tanah dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU No. 1/2004 diamanatkan perlunya pengaturan pelaksanaan oleh Menteri Keuangan selaku Bendaharawan Umum Negara berkoordinasi dengan lembaga yang bertanggungjawab di bidang pertanahan;
  7. Bangunan Milik Negara harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan dengan tertib (Pasal 49 ayat (2) UU No. 1/2004).
  8. Khusus untuk tanah dan bangunan (pasal 49 ayat (3)) apabila tidak dimanfaatkan untuk menunjang Tupoksi wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan.
  9. BMN dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman, dan dilarang untuk dilakukan penyitaan (Pasal 49 ayat (4) dan (5) serta pasal 50 huruf c dan d UU No. 1 Tahun 2004).
  10. Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan BMN diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004).

C. BATASAN PENGATURAN DALAM RPP
1. Negara

Pengertian atau batasan ”Negara” dalam kata ”Barang Milik Negara (BMN)” adalah Pemerintah RI, dalam arti kementerian negara/lembaga. Pengertian lembaga adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 6 ayat (2) huruf b UU No. 17/2003, yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.
2. Barang Milik Negara (BMN)

Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkanstatusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini.
Untuk barang-barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN dapat lebih mudah identifikasinya sebagai bagian dari BMN. Sedangkan untuk barang-barang yang berasal dari perolehan yang sah perlu adanya batasan yang lebih jelas, mana yang termasuk sebagai BMN. Dalam hal ini, batasan pengertian barang-barang yang berasal dari perolehan yang sah adalah barang-barang yang menurut ketentuan perundang-undangan, ketetapan pengadilan, dan/atau perikatan yang sah ditetapkan sebagai Barang Milik Negara .
3. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004, ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan Pemerintah meliputi penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya, perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut merupakan siklus minimal atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik negara/daerah (asset management cycle).

D. LANDASAN PEMIKIRAN PENGELOLAAN BMN
Landasan-landasan pemikiran yang digunakan dalam pengaturan pengelolaan BMN meliputi:
1. Landasan Filosofi
Hakekat BMN/D merupakan salah satu unsur penting penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka NKRI untuk mencapai cita-cita dan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pengelolaan BMN/D perlu dilakukan dengan mendasarkan pada perturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan dimaksud.
2. Landasan Operasional
Landasan Operasional Pengelolaan BMN/D lebih berkaitan dengan kewenangan institusi atau Lembaga Pengelola/Pengguna Barang milik negara, yang dapat dikemukakan sebagai berikut :
  • Pengelolaan Kekayaan Negara yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah Negara adalah badan penguasa atas barang negara dengan hak menguasai dan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Instansi pengelolanya adalah instansi pemerintah departemen/LPND yang diberikan wewenang untuk itu. Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional, Tambang oleh Departemen Sumber Daya Mineral dan Energi, laut dan kekayaannya oleh Departemen Kelautan dan sebagainya. Pengaturan atas pengelolaan barang milik negara dalam ruang lingkup ini telah diatur dalam berbagai undang-undang.
  • Pengelolaan Barang milik negara yang bersumber pada pasal 23 UUD 1945 adalah Negara sebagai Pemerintah Republik Indonesia yang dapat memiliki barang atau sesuatu sebagai aset kekayaan pemerintah dengan tujuan untuk menjalankan roda pemerintahan. Instansi pengelola adalah Presiden yang didelegasikan kepada Menteri Keuangan dan instansi pengguna adalah kementerian negara/lembaga.
3. Landasan Yuridis
Acuan dasar dalam pengelolaan BMN/D tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No 1 Tahun 2004, khususnya Bab VII dan Bab VIII pasal 42 s/d pasal 50. Untuk itu seluruh Peraturan Perundang-undangan yang ada perlu dikaji kembali termasuk penerapannya untuk disesuaikan dengan acuan trsebut di atas.
4. Landasan Sosiologis
Rasa ikut memiliki ( sense of bilonging ) masyarakat terhadap BMN/D merupakan wujud kepercayaan kepada pemerintah yang antara lain diwujudkan dalam bentuk keterlibatannya dalam merawat dan mengamankan BMN/D dengan baik. Namun, masih ditemui adanya pandangan sebagian anggota masyarakat bahwa BMN adalah milik rakyat secara bersama, yang diwujudkan adanya usaha-usaha untuk memanfaatkan dan memiliki BMN/D tanpa memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, misalnya penguasaan, penyerobotan, atau penjarahan tanah-tanah negara. Pengaturan yang memadai mengenai pengelolaan BMN/D antara lain diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengamanan dan optimalisasi pendayagunaan BMN/D dengan selalu mendasarkan pada kaidah-kaidah atau ketentuan yang berlaku.

E. AZAS-AZAS PENGELOLAAN BMN
Pengelolaan BMN dilaksanakan dengan memperhatikan azas-azas sebagai berikut:
  1. Azas fungsional
    Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah dibidang pengelolaan BMN dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna BMN sesuai fungsi, wewenang, dan tangung jawab masing-masing.
  2. Azas kepastian hukum
    Pengelolaan BMN harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta azas kepatutan dan keadilan.
  3. Azas transparansi (keterbukaan)
    Penyelenggaraan pengelolaan BMN harus transparan dan membuka diri terhadap hak dan peran serta masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar dan keikutsertaannya dalam mengamankan BMN.
  4. Efisiensi
    Penggunaan BMN diarahkan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan Tupoksi pemerintahan secara optimal.
  5. Akuntanbilitas publik
    Setiap kegiatan pengelolaan BMN harus dapat dipertaggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara.
  6. Kepastian nilai
    Pendayagunaan BMN harus didukung adanya akurasi jumlah dan nominal BMN. Kepastian nilai merupakan salah satu dasar dalam Penyusunan Neraca Pemerintah dan pemindahtanganan BMN.

F. LINGKUP PENGATURAN PENGELOLAAN DALAM RPP
Untuk merumuskan siklus yang lebih lengkap, maka ruang lingkup Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang sedang dalam proses pembahasan, yang khusus terkait dengan pengelolaan BMN meliputi:
  1. Pengertian, maksud dan tujuan, asas-asas, lingkup BMN;
  2. Pejabat pengelolaan BMN, yang berkedudukan sebagai pengelola, dan pengguna BMN beserta hak dan kewajibannya);
  3. Perencanaan Kebutuhan dan Pengadaan, yang terkait dengan perencanaan kebutuhan BMN dan perolehan (kegiatan atau proses suatu kekayaan/barang menjadi BMN), terutama yang berasal dari pengadaan;
  4. Penguasaan, Penetapan Status dan Penggunaan, mengenai ketentuan penetapan BMN pihak yang berhak menggunakan dan batasan hak, kewenangan dan kewajiban dalam penggunaan BMN.
  5. Pemanfaatan, yang berisi tentang ketentuan pemanfaatan BMN, pihak yang berhak menentukan pemanfaatan BMN, dan batasan hak, kewenangan dan kewajiban dalam pemanfaatan BMN;
  6. Pengamanan, yang berisi tentang pengaturan pengamanan dari segi administrasi, hukum dan fisik;
  7. Penilaian, tentang ketentuan mengenai penilaian BMN dalam rangka pemanfaatan, pemindahtanganan, dan pelaporan BMN;
  8. Penghapusan, mengenai pertimbangan penghapusan, tindak lanjut penghapusan, dan prosedur penghapusan;
  9. Pemindahtangan, mengenai ketentuan-ketentuan mengenai penjualan, pertukaran, hibah, penyertaan pemerintah atas BMN;
  10. Penatausahaan, pengaturan tentang pendataan atas seluruh kekayaan yang ada pada seluruh kementerian negara/lembaga baik di lingkungan Pemerintah Pusat dan kekayaan yang ada pada pihak lain, misalnya BUMN dan Badan Usaha lainnya; kegiatan pencatatan dan pembukuan; dan kegiatan pelaporan;
  11. Pengawasan/Pengendalian, pengaturan tentang pengawasan atau pengendalian atas penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN;
  12. Sanksi/Tuntutan Ganti Rugi terkait dengan pengelolaan BMN

G. TAHAP PENYELESAIAN PENYUSUNAN RPP
Tahap-tahap yang telah dilaksanakan dalam penyusunan RPP dimaksud meliputi:
  1. Seminar ”Naskah Akademis”;
  2. Menghimpun masukan-masukan dari nara sumber terkait;
  3. Penyusunan pointers pengaturan di bidang pengelolaan BMN;
  4. Drafting materi ke dalam RPP
Tahapan-tahapan berikutnya dalam penyelesaian RPP meliputi:
  1. Penyelesaian drafting RPP dan penyempurnaan legal draftingnya
  2. Seminar draft RPP
  3. Penyeahan RPP kepada KPMK sampai dengan penyelesaian menjadi PP pada Sekretariat Nrgara;

0 Responses to "Pengelolaan BMKN"

Powered by Blogger